Sabtu, 29 Desember 2012

MIMPIKU TENTANGMU

Satu persatu saudara-saudara, teman-teman dan tetangga-tetanggamu menunaikan satu terakhir dari yang lima. Apakah tak tergelitik dalam hatimu, Ibuku?
“Ya tentu aja Ibu pengen naik haji.” Jawabanmu setahun lalu ketika iseng kutanyakan padamu.
Entahlah apa ada maksud lebih mendalam dari jawabanmu. Ketika Budhe yang usai pulang haji mengajak agar engkau dan bapak pergi haji selagi masih kuat, engkau hanya jawab,
“Ah, anak-anak masih kuliah. Belum memikirkan.” Itukah kelanjutan jawabanmu yang pertama, Ibu?
Tak tahukah itu petunjuk pertama untukmu ibu. Aku saja merasakannya… Perasaan yang berulang ketika ada budhe yang lain menyuruhku mendukung Ibu untuk pergi haji. Hati ini sungguh bergetar Ibu. Betapa petunjuk kecil ini membuatku selalu mendoakan ibu dan bapak agar bisa yakin untuk memutuskan naik haji.
Waktu berikutnya adalah melihat orang-orang yang sibuk mengurusi keperluan haji. Mendengar teman-temanku membicarakan orangtuanya yang akan berangkat haji. Sungguh aku iri Bu… Iri kenapa Ibu belum juga berangkat haji sementara ibu-ibu temanku sudah. Tidakkah engkau juga iri?
Setahun berlalu tanpa ada pembicaraan menyangkut kewajiban umat muslim bagi yang mampu. Syarat ini bukankah rancu? Mampu. Menurut pandangan siapa? Pandangan orang-orang yang melihat. Pandangan kita yang menjalani? Bagaimana jika ternyata kata mampu ini adalah berdasarkan pandangan Allah. Bukankah sudah banyak bukti orang-orang yang dalam pandangan orang lain tak mampu ternyata bisa berangkat haji. Bahkan dia mengukur kemampuannya sendiri secara logis tak mampu pun ternyata ia bisa.
Pengetahuan dan pemikiran kita terlalu sempit untuk menerjemahkan kata mampu dalam konteks haji. Tetapi kita kebanyakan menjadi sok tahu dengan yang ada pada diri kita. Mengira tak mampu, mengukur tak cukup, merasa tak perlu. Manusia. Apakah Ibu juga termasuk yang seperti itu? Janganlah ibuku sayang…
Maka tahun ini, kita sama tahu dengan keadaan keuangan keluarga kita. Oh tentu engkau yang paling tahu Ibu. Kakak sudah bekerja dan menikah. Aku tinggal satu tahun lagi lulus kuliah. Adikku juga sekitar dua tahun lagi. Bagaimana Ibu, alasan anak-anak masih kuliah bukankah bisa dikesampingkan?
Satu rahasia yang ingin kukatakan padamu, bahwa tiap aku mendengar kalimat talbiyah, aku selalu teringat pada Ibu dan Bapak. Seolah panggilan itu memang benar adanya. Tak hanya sekedar keinginan yang tertahan. Ibu dan Bapak harus segera bergerak. Aku, bolehkan menarik tangan Ibu dan Bapak agar melangkahkan kaki di jalan menaik itu. Berharap aku tak salah memahami petunjuk dari Allah…

Maka detik ini, ketika kita berbicang di sore yang cerah, aku harus bisa ungkapkan keyakinanku. Entah darimana, tiba-tiba pembicaraan kita mengarah ke haji. Engkau membicarakan teman dekatmu yang akan berangkat haji. Ah, saat yang tepat!
“Ibu sendiri kapan berangkat haji? Teman-teman dekat Ibu hampir semuanya sudah berangkat…” pertama aku mencandaimu
“Kapan ya Na, Ibu juga pengen banget. Apalagi kalau mengunjungi teman yang pulang haji, pasti membawa cerita yang buat hati Ibu bergetar.” Oh Ibu, itu tanda yang kesekian yang ditujukan padamu…
“Kenapa tidak mendaftar tahun ini? Kan aku dan Tirta udah mau lulus. Jadi esok menabung hajinya tak akan terlalu berat. Insya Allah kalau aku sudah bekerja juga bantu Ibu dan Bapak nambahin tabungan hajinya.” Inilah Ibu, mimpiku tentangmu. Aku sungguh ingin membantu Ibu berangkat haji.
“Begitu ya Na. Terima kasih sekali Hasna mau bantu Ibu dan Bapak. Tapi kalau mendaftar sekarang 4 tahun lagi baru berangkat.”
“Ya justru itu, kalau menunda besok-besok akan lebih lama lagi. Mumpung Ibu dan Bapak masih sehat dan kuat. Bagi Hasna, Bapak dan Ibu berangkat haji itu adalah kebahagiaan terbesar. Kalau Hasna mah besok kalau sudah menikah dan pergi bersama suami, hehe.”
“Kamu betul Na. Jadi Ibu dan Bapak harus segera daftar? Tapi uang pendaftarannya 10 juta dan biaya haji sekarang 60 juta.”
“Insya Allah ada rezeki di depan Bu.” Aku tersenyum dan engkau tersenyum, aku bahagia dan kuharap engkau lebih bahagia.
$$$$$

“Hasna, Ibu pengen bicara.” Engkau bersemangat dan berwajah sumringah menyambutku pulang kuliah.
“Ada apa Bu?” aku ikut tersenyum dan menaruh tas di kamar, kami kemudian duduk di tepi ranjang.
“Ibu baru saja mendapat rezeki… Jadi Hasna silakan pilih motor baru.” Ibu masih bersemangat dan aku berubah bingung, maksudnya Bu?
“Kan motormu mau dibeli Om mu, untuk bantu warung Nenek supaya bisa belanja dan keperluan lain. Kasihan kalau pinjam saudara lain atau tetangga. Seperti rencana setahun lalu.” Aku memutar ingatan tentang rencana yang tertunda karena dulu aku tahu engkau tak ada uang untuk membeli motor baru, walau aku tahu maksudmu adalah membantu Nenek dan Om.
“Tapi Bu, bukankah kita sudah putuskan tak akan jual motor dan Om katanya mau cari yang lain.”
“Cari yang lain gimana? Kan menunggu motormu. Sudah sekarang kamu pilih motor mana yang ingin dibeli.”
“Terus rencana daftar haji bagaimana? Apa tidak sebaiknya digunakan untuk mendaftar saja, semakin awal semakin baik.” Inilah yang sebenarnya ingin kusampaikan.
“Aduh Na… utang Ibu saja masih banyak, belum rencana bikin rumah di desa. Masih banyak yang dipikirkan.” Apa? Engkau lebih memikirkan tentang itu semua? Oh Ibu…
“Bu, pasti ada jalan dan rezeki dari Allah, kalau ibu sungguh-sungguh berusaha berangkat haji. Ibu seperti tidak percaya kepada Allah.”
“Sudahlah Na, kita pikirkan saja yang lebih penting sekarang.” Apa Bu? Jadi semua ini lebih penting dari haji, duh Gusti Allah…
“Aku sebenarnya masih bisa pakai motor itu, kenapa Om tidak membeli motor dari yang lain?” aku masih berusaha mengarahkanmu
“Bukannya dulu kamu sendiri yang ingin menjualnya ke Om mu karena juga ingin bantu Om dan Nenekmu? Kenapa sekarang tidak mau?”
“Dulu begitu, tapi sekarang aku lebih ingin Ibu naik haji. Dan soal motor baru, aku mau beli pakai uangku sendiri besok kalau sudah kerja. Kenapa sih Ibu sepertinya lebih memihak dan mementingkan kebutuhan Om dan Nenek?”
“Bukannya memihak atau mementingkan mereka. Ibu hanya ingin Hasna punya motor baru dan lebih bahagia.” Oh Ibu, jika demikian, bolehkah aku balas katakan bahwa sudah cukup memberikan materi berlimpah padaku dan engkau menderita, mengalah juga jatuh bangun untuk  memenuhinya, sudah saatnya engkau mementingkan dirimu sendiri dan kebutuhanmu…
“Tapi aku tak mau beli motor dan jual motor.” Akhirnya malah itu yang kuucapkan. Lantas pergi meninggalkanmu, pergi dengan motorku.
Sungguh aku tak sanggup berhadapan denganmu saat ini. Air mata ini tak bisa kutahan lebih lama. Tak sanggup pula kujelaskan semua rasa dalam hati padamu. Semuanya tiba-tiba hadir dan menyesaki dadaku. Alirkan deras butiran jernih.
“Ibu, jadi apa yang engkau sampaikan padaku beberapa minggu lalu tentang keinginanmu pergi haji? Hanya sebuah candaan dan angan-angan kosong? Bukankah petunjuk dan jalan dari Allah sudah jelas? Ada rezeki yang bisa engkau gunakan mendaftar. Tapi kenapa engkau memilih tentang dunia…”
Sederas hujan air mataku, mengaburkan pandangan. Namun aku terus mengendarai sampai menemukan tempat yang tenang. Aku berhenti di sebuah taman dan berusaha menghentikan air mataku. Sore yang cerah meramaikan taman kota ini. Aku memilih tempat yang agak sepi dan duduk di bangku taman.
Aku menerawang anak-anak yang bermain-main dengan orangtuanya. Teringatlah lagi dengan ibuku. Berderai pula kembali air ini. Betapa perihnya hatiku menerima kenyataan bahwa orangtuaku tak sungguh-sungguh berusaha menunaikan ibadah haji.
“Bagaimana Ya Allah… sikap yang bagaimana dengan kenyataan ini… aku harus bagaimana dengan pilihan orangtuaku…” ah aku tak tahu lagi apa yang sebaiknya kulakukan padamu Ibu.
Aku tergugu dalam kebingungan dan kebuntuanku. Sakit hatiku sendiri tak tahu karena apa sesungguhnya. Karena impianku padamu yang belum ada cahaya, ataukah karena engkau membohongiku untuk bersemangat pergi haji. Memang tak ada janji darimu, tapi aku sangat berharap engkau bersungguh-sungguh dan yakin.
$$$$$

Akhirnya memang pilihan mutlak di tanganmu Ibu. Engkau memilih untuk membayar hutang-hutangmu dan menyisakan untuk uang kuliahku dan Tirta. Uang hasil penjualan sawahmu disini. Karena sawah itu sudah tak bermanfaat banyak. Sepetak sawah yang dulu sekali engkau dan bapak beli untuk kebutuhan hidup kita. Pekerjaanmu dan bapak sebagai guru SD masih belum memakmurkan keluarga kita.
Keadaan kembali seperti sebelumnya. Tak ada lagi semangat membara dariku untuk mendorongmu pergi haji. Memang hati manusia hanya Allah yang tahu dan menggenggamnya. Aku tak bisa menggerakan sedikitpun hatimu. Hanya Allah yang bisa membolak-balik hati manusia.
Malam itu saat aku pulang ke rumah, aku minta maaf padamu yang marah padamu. Engkau memaafkan dengan senyum. Walau mungkin ada sedikit goresan di hatimu, entah apa. Aku juga terluka Bu, perih dengan pilihan yang engkau putuskan. Tapi aku tak bisa berbuat banyak.
Hal yang bisa kulakukan adalah terus mendoakanmu… Memohon kepada Sang Pemilik hati untuk membalikan hatimu agar membara lagi pergi haji. Berdoa ada keajaiban dari Allah yang membuat Ibuku dan Bapakku segera mendaftar haji. Aku masih percaya pada keajaiban semacam itu. Yakin sepenuhnya pada kekuasaan dan kehendak Allah… yang selalu ada kebaikan dan kejutan.
“Banyak juga ternyata yang pergi haji secara ilegal.” engkau melihat berita tentang kuota haji ilegal, yang pergi lebih cepat dari yang seharusnya dengan membayar lebih.
“Yah, mungkin saking pengennya pergi haji.” Aku yang juga sedang menonton menanggapi dengan agak memberikan sedikit tekanan pada kata pengen.
“Tapi kalau begitu hajinya jadi sah nggak? Nggak masuk kuota resmi dan tanpa sepengetahuan kementerian agama.” Sepertinya belum berasa engkau dengan kalimat penekananku.
“Hm, wallahu alam. Hajinya sih mungkin sah. Tapi caranya demikian, hanya Allah yang dapat menilainya. Disana mereka juga dapat merasakan enak tidak enaknya.” Balasku lagi
“Hm kalau ibu mah takut, was-was. Mending dengan cara yang semestinya, bersabar.”
“Zaman sekarang Bu, ambisi orang bisa membawa ke nafsu dan serba instan. Tapi kalau banyak orang yang pergi haji diluar kuota resmi, berarti banyak banget ya orang yang pengen pergi haji. Semua umat muslim juga pengen pergi haji. Dan orang-orang itu bisa dibilang yang berusaha keras, walau di dalamnya tak ada kesabaran. Pasti ada hitungannya di sisi Allah, termasuk yang baru ingin walau belum berusaha.”
Kataku panjang dan beranjak dari ruang TV, sebelum aku mengeluarkan kata-kata yang lebih dalam menusuk sasaran. Ada sisi lain hati yang ingin katakan, “Mungkin masih mending mereka yang menghalalkan segala cara untuk pergi haji daripada yang memutuskan tak pergi haji dengan alasan dunia dan tak yakin mampu.”
Semuanya memang bermuara dari hati yang sepenuhnya menghamba dan yakin kepada Allah. Sedangkan kesabaran, ketenangan dan kemantapan langkah juga kemudahan adalah buah manis yang iringi hidup.
“Ibu, ketahuilah aku begitu ingin engkau pergi haji karena aku sangat sayang dan cinta pada Ibu. Aku merasakan cintamu dan pengorbananmu yang sangat besar anak-anakmu. Jadi sudah sepantasnya surga merindukanmu dengan keberangkatanmu ke baitullah…”
$$$$$

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentari Tulisanku Sobat...


Entri Populer

Pengikut