Selasa, 29 Mei 2012

MAKNA HILANG


Wanita ini mendesah di depan cermin. Desahan yang berat. Sore ini dia telah rapi dengan rok putih bermotif garis hitam saling menyilang membentuk belah ketupat. Dipadukan dengan baju lengan panjang warna biru dan kerudung biru yang hampir sewarna dengan bajunya.
“Pergi sekarang saja lah.” Bisiknya sambil menatap wajah sendunya.
Ia berbalik menghampiri tas laptop pemberian kakaknya yang sudah lulus kuliah dan tak menggunakan lagi tas itu. Dia segera memasukan laptop, buku cerita nonfiksi yang belum habis baca, pensil isi, buku tulis dan mukena. Tak lupa dompet dan handphone. Dia mengamati sebentar dompetnya. Sebuah pemberian dari kakaknya juga. Masih baru.

Ia mengenakan jaket coklatnya. Lalu keluar kamar. Menstarter motornya dan pergi dari kosannya, menuju tempat yang menyejukan hatinya. Menenangkan kemelut di pikirannya. Wanita ini, yang berusia sekitar 21 tahun, tengah risau dengan masalah-masalah kecil yang membukit.
Lima belas menit kemudian, ia telah memasuki tempat parkir. Dia menghentikan motornya di bawah pohon kecil, berjejer bersama motor lain. Ia berjalan memasuki  bangunan besar tempat ibadah mahasiswa universitas ini. Sudah beberapa kali ia datang kemari. Ia suka megahnya masjid ini. Suka air mancur dan kolam depan masjid. Taman yang ditanami palem dan rerumputan hijau selalu menyegarkan pandangan.
Kali ini dia tak menikmati semua itu. Ia memilih menaiki tangga menuju tempat shaf putri. Sore menjelang maghrib ini dia ingin menghabiskannya dengan merenung sambil menulis.
“Jika hati sedang kalut dan resah, datanglah ke masjid. Insya Allah hati akan lebih tenteram.” Teringat perkataan ustadz di pengajian.
Ketika sampai di lantai 2, ia berjalan di pojokan masjid. Berdiri sejenak di tepi balkon. Memandangi air mancur dan pepohonan. Menghirup udara sejuk. Menghembuskan dengan kelegaan. Langit mulai meredup. Ia kemudian berbalik dan duduk bersandar tembok. Membuka laptop dan menuliskan gundah hati.
Berhenti sejenak, mendengar pengajian di lantai bawah yang dihadiri para ikhwan. Ceramah tentang tauhid. Tetapi pikirannya ingin menangkap sesuatu yang ringan dibandingkan dengan ceramah itu. Maka ia membuka buku nonfiksi yang dibawanya. Endless Life. Buku yang ditulis oleh seorang wanita cacat tentang kehidupannya yang sarat perjuangan. Ia seperti mendapat semangatnya.
Kembali menulis. Dengan lebih positif. Bahwa masalah-masalah kecil tentang kuliah, skripsi atau lainnya tak seberapa dibandingkan masalah-masalah penulis buku Endless Life.
“Hh... aku kekanakan sekali ya kalau selalu marah dan sedih berlarut hanya karena masalah-masalah sepele itu.” Bisiknya dalam hati.
Ia menengadah ke langit dan mendapati kelam. Sebentar lagi pasti adzan. Ceramah pun telah berakhir beberapa menit yang lalu. Kesunyian benar-benar menyelimuti masjid ini. Ketika matanya masih mengamati suasana yang kian gelap, saat itulah ada seorang wanita yang berjalan ke tepi balkon. Wanita itu menoleh sekilas ke arahnya yang masih memangku laptopnya. Mereka saling temu pandang. Lalu wanita itu berbalik dan berjalan meninggalkannya sendiri.
Adzan terdengar. Ia mengemasi barang-barangnya. Berjalan ke pojok lain masjid untuk mengambil wudlu. Disitu sudah ada wanita berjilbab besar yang baru saja menyalakan air. Ia menaruh tasnya agak jauh dari tempatnya menyalakan air.


Ia mengambil mukena ungunya yang berbahan parasit. Sudah ada beberapa wanita yang bersiap mengenakan mukena. Dan kian banyak yang datang. Setelah terdengar iqomah. Ia berdiri dan merekatkan barisan shaf.
Kini dia di dekat pilar tengah masjid. Di barisan paling depan. Sehingga bisa melihat shaf ikhwan di bawah. Ia hendak meletakan tasnya di depan. Tapi entah kenapa dia tak jadi dan yakin pada tempat di belakangnya. Menyenderkan tas pada pilar besar. Toh masih dekat dengan kakiku, pikirnya.
Maka ia khusyuk sholat. Berusaha meminta pertolongan dengan sholat. Agar tenang hatinya. Kedua salam pun diucapkan. Ia segera berdzikir. Beristighfar. Memohon ampun karena selalu mengeluh dan berpikir buruk.
Matanya berkaca saat menengadahkan tangan memohon semua yang diinginkannya saat ini. Ketenteraman. Ketegaran. Keikhlasan...
Ketika ia berbalik, jantungnya seperti deru kereta yang mulai berjalan. Ranselnya tak ada. Kepanikan menjalar. Ia berdiri memeriksa sekitar. Mengitari pilar besar. Tak ada. Deru di hatinya kian kencang. Ia berjalan ke sederetan barisan. Wajahnya menegang. Seperti orang gila, ia berjalan cepat kesana kemari meneliti tas yang tergeletak. Berharap itu adalah miliknya.
“Mbak, lihat tas ransel saya yang di situ?” ia bertanya pada wanita yang duduk di dekat tangga menghadap pilar tempatnya menaruh tas.
“Nggak Mbak, saya baru datang pas mau salam tadi.”
“Ya Allah... kemana dong... Atau mbak lihat ada yang mengambil tas disitu?”
“Nggak juga Mbak. Kenapa Mbak?”
“Tasku hilang. Tadi aku taruh disitu dan sholat. Tapi pas udah selesai, nggak ada. Astagfirullah... gimana ini?”
“Sebenarnya, tadi ada yang jalan cepat bawa tas ransel item. Tapi nggak tahu, mungkin punya dia sendiri.”
“Astagfirullahadzim... aku harus bagaimana Mbak? Tolong aku Mbak... Astagfirullah...”
“Ada apa Mbak?” seorang ibu muda menyapanya yang terlihat sangat panik.
“Tas saya hilang Bu... Tadi saya senderkan di pilar. Di belakang saya sholat.”
“Isinya apa Mbak?”
“Laptop, dompet, hape, semuanya...”
“Inalillah... sebaiknya tanya ke satpam, mungkin bisa membantu.” Ibu yang terlihat ramah mengusulkan padanya.
“Mbak, bisa tolong temani saya ke bawah, menemui satpam?” yang diminta hanya mengangguk.
“Oh ya Mbak, bisa pinjam hape untuk telepon HP saya...” dan mbak itu segera memberikan HP nya.
Dia segera menelepon no nya sambil berjalan menuruni tangga. Ia masih memakai mukenanya. Berjalan menemui satpam.
“Astagfirullah, masih nyambung Mbak!” pekiknya bergetar
“Berarti dia belum sadar ada HP di dalam tas Mbak dan belum mematikan.”
Nada sambung terus terdengar sampai ia di lantai bawah. Dan ketika di depan satpam, nada itu mati. Ketika akan menelepon lagi, sudah tidak aktif. Ia menyerah.
“Pak, tas saya hilang. Tolong saya Pak...”
“Coba lihat di kamar mandi, biasanya dibuang disitu tasnya.” Ia segera melangkah dengan cepat menuju kamar mandi. Tetapi nihil. Dia kembali lagi ke Pak Satpam yang berbincang dengan Mbak itu, menceritakan kejadian kehilangan itu.
“Nggak ada Mbak, Pak. Bagaimana sekarang...” Ia berjalan lagi menaiki tangga, menemui Ibu tadi. Pak Satpam dan Mbak itu mengikuti.
“Pak satpam tidak bisa membantu, lalu saya harus bagaimana Bu?”
“Waduh, bagaimana ya? Biasanya kalau hilang, ya sudah tidak kembali. Laptopnya apa Mbak?”
“Merk hp, baru beli sebulan lalu.”
“Sabar Mbak, Allah sedang menguji Mbak. Lalu di dompet ada uang banyak?”
“Tidak, tapi ada ATM.”
“Ada uangnya?”
“Iya, dua juta, untuk bayar kuliah.”
“Wah, itu harus cepet di blokir.”
“Tapi, aku jadi takut. Aku takut pada orang-orang di rumah karena menghilangkan barang-barangku yang berharga.” Suaranya bergetar, wajahnya sendu.
“Memang perasaan bersalah itu ada, tapi ini adalah kelalaian yang tidak diinginkan. Sabar Mbak... Sekarang sebaiknya Mbak segera blokir sebelum terlambat.”
“Baik. Terima kasih Bu... Tapi, adakah yang bisa menemani saya... Mbak bisa bantu lagi?” ia menoleh pada Mbak yang tadi.
“Maaf, saya tadi hanya nebeng. Sebaiknya sama teman saya, dia bawa motor dan helm.” Mbak itu menunjuk temannya yang berada disampingnya. Dan mbak itu mengangguk.
Keduanya berdiri. Tak lupa ia melepaskan mukenanya. Melipat dan diselipkan dalam jaket yang ia pakai. Untunglah kunci motor ia masukan dalam saku rok. Ia bisa pergi mengurus lain-lain dan pulang dengan mudah.


“Namanya siapa Mbak?” ia bertanya pada Mbak baik hati setelah usai mengurus semuanya.
Setengah jam yang sangat menyibukan dirinya. Ke bank untuk meminta no customer service. Menelepon dengan Hp mbak itu. Kemudian mereka ke pos polisi untuk mengurus surat kehilangan kartu mahasiswa, KTP, SIM dan STNK. Tetapi mereka disuruh ke kantor polisi. Dan mereka secepatnya pergi ke kantor polisi yang tak terlalu jauh.
“Fina. Mbak?” wanita penolong itu menjawab dengan wajah ramah, mereka masih di parkiran kantor polisi.
“Syiva. Kuliah di jurusan apa? Semester berapa?”
“Jurusan farmasi, semester 5.”
“Ah, sama. Aku juga di farmasi, semester 7.” Ia terlihat lebih tenang
“Mbak, maaf ya aku jadi merepotkan... bener nggak ada urusan atau kepentingan lagi Mbak Fina?” ia sedikit merasa tak enak dengan kesusahan yang terjadi karenanya.
“Sebenarnya ada pertemuan, tapi tak apa Mbak, bukan rapat penting. Dan jangan panggil Mbak, aku kan lebih muda, jadi nggak enak sendiri.” Fina tersenyum menanggapi.
“Ohya, terima kasih banyak untuk pulsanya. Sampai habiskan hampir 20 ribu untuk telepon bank tadi. Besok saya ganti, insya Allah...”
“Tidak apa Mbak, aku ikhlas.”
“Fina, aku minta no mu, biar lebih dekat lagi.” Fina kemudian menuliskan no nya di kertas kecil dan menyerahkan pada Syifa.
“Mbak mau sholat dulu atau langsung pulang?”
“Sholat dulu, biar tenang.”
“Kalau ke masjid kampus, Mbak masih trauma ya? Em, ke masjid dekat sini saja ya.” Fina memberi usul dan Syifa mengangguk.
Sampai di masjid itu, yang cukup besar, mereka segera mengambil wudlu. Syifa mengeluarkan mukena dari dalam jaketnya. Tas kecil mukenanya ikut terbawa tas yang hilang.
Syifa mempersilakan Fina menjadi imam. Ia merasa Fina lebih dalam ilmu agamnya. Terlihat dari pakaiannya yang lebih longgar dan besar dari Syifa. Dan memang benar, Fina lebih fasih bacaannya. Lebih khusyuk.
Di rakaat pertama, Fina melantunkan surat Ar-Rahman. Mendadak hati Syiva bergetar. Ia merasakan dalamnya ayat-ayat Allah ini. Teringat betapa ia lupa pada maha rahman Allah. Ketika tiba disurat ke tiga belas, air matanya mengalir. Menyadari sungguh nistnya dirinya. Mendustakan nikmat Allah. Mengeluh dan bersedih pada hal yang sepele.
Di rakaat kedua Fina membaca surat Al-Insyirah, Syifa kembali bergetar. Tak hanya hatinya, namun juga tubuhnya. Seolah Fina ingin menyampaikan pesan Allah pada Syifa. Bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Air matanya terus mengalir.
Setelah salam diucapkan, Syifa khusyuk beristigfar. Lebih khusyuk dari sholat maghrib tadi. Saat ia kembali menengadahkan tangan, doa yang terucap hanya memohon ampunan. Betapa selama ini dia jauh dari Allah.
“Sekali lagi, terima kasih banyak Fina. Sudah mau bersusah membantuku.” Syifa berkata di pelataran masjid.
“Sama-sama Mbak.”
“Sebenarnya aku bisa ikhlas, tapi rasa takut itu lebih besar. Aku takut mengecewakan orangtuaku.” Syifa teringat lagi pada kehilangannya.
“Laptop itu baru lunas dua hari kemarin. Ibu membelikan dengan uang pinjaman. Dan ketika dia bisa membayar hutang itu, Ibu terlihat sangat bahagia mengabarkan padaku. Sekarang, aku malah menghilangkannya...” dan air mata perih kehilangan itu tumpah seketika. Air mata yang ia tahan sejak tadi.
Fina segera memeluk Syifa. Menenangkan Syifa dengan mengelus pundaknya.
“Bismillah Mbak, serahkan semua kepada Allah...”
“Aku merasa sangat bersalah, benar-benar akan menyakiti hati orangtuaku...” air mata Syifa semakin deras dalam dekapan Fina.
“Sabar Mbak, yakin kepada Allah. Bismillah, semua akan baik-baik saja...” Fina terus mengelus pundak Syifa hingga beberapa detik. Hingga Syifa tenang dan menghapus air matanya.
“Semoga orangtuaku bisa ikhlas dan memaafkan aku. Doakan ya Fina...”
“Tentu, aku doakan semua ikhlas dan sabar. Yakin bahwa ini adalah ujian dari Allah. Insya Allah semua akan kembali baik, Mbak.” Fina berkata dengan senyum, menularkan ketenangan pada Syifa.
“Iya, insya Allah...” Syifa pun tersenyum, dengan lebih tulus dan lebih lega.


Epilog
            Tiga bulan berlalu, Syifa masih mengingat kejadian itu. Dengan pandangan yang lebih jernih.
“Benar, semua adalah ujian menuju peningkatan iman. Ayat-ayat itu selalu menyadarkan aku. Terima kasih Fina, telah memperdengarkan di saat yang tepat. Terima kasih telah menjadi bukti cinta Allah padaku. Dalam kesulitan, Engkau sertakan penolong. Sungguh indah takdirMu untukku...”
“Kata ustadz, kehilangan itu adalah tanda kita akan mendapatkan sesuatu yang baru...” Syifa tersenyum di depan laptop barunya.
“Sungguh, Allah pemberi rezeki yang terbaik.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentari Tulisanku Sobat...


Entri Populer

Pengikut