Lelaki itu
memandangi jalanan yang ramai. Duduk sendiri di bangku melingkar. Sendiri
merenung. Melayangkan pikiran ke masa silam. Tujuh tahun lalu, ketika ia lulus
SMA. Juga kenangan sebelum kelulusan yang membahagiakan.
“Kamu
udah yakin Ki?”
“Tentang
pilihanku? Tentu saja. Udah daftar, udah ujian, tinggal tunggu hasilnya. Kamu
sendiri, kenapa sampai sekarang belum daftar kuliah?”
“Rizki...
Bukannya udah pernah ku bilang, aku nggak akan melanjutkan kuliah. Orangtuaku
mana mampu biayai aku kuliah!”
“Tapi
kan ada beasiswa Argi, kamu pintar, pasti bisa masuk dalam daftar mahasiswa
yang dapat beasiswa.”
“Sama
saja, biaya kuliah gratis, tapi biaya hidup di kota? Kasihan Mamak dan Bapak. Adik
ku ada dua, udah SMP dan SMA.”
“Kamu
ikut kursus atau kuliah D3 yang sebentar?” Rizki antusias mencari kesempatan
untuk sahabatnya agar bisa melanjutkan kuliah. Dalam pikirannya, sayang sekali jika
lulus SMA tidak melanjutkan kuliah, apalagi Argi termasuk anak pintar. Tetapi
Argi hanya menanggapi biasa dan malah tertawa menjawabnya.
“Sudahlah
Ki, keputusan tak akan berubah.” Argi berkata dengan senyum, namun masih belum
membuat Rizki tenang.
“Tapi,
sebenarnya kamu ingin melanjutkan kuliah kan Gi?”seketika wajah Argi pias,
hening, pertanyaan itu menggantung.
“Benar
kan?” Rizki kembali menegaskan pertanyaannya
“Biarlah
hanya menjadi mimpi yang tak terwujud. Aku sudah menguburnya dalam-dalam.”
Wajah Argi kembali ceria, meski tak tahu di dalam hatinya.
“Lalu
kamu mau kerja? Dimana?”
“Entahlah,
di toko atau di rental, di pabrik, dimana saja asal halal dan mereka mau
menerimaku.”
“Baiklah,
semoga bisa segera mendapat pekerjaan kelak. Tapi, jangan kubur mimpi mu, kamu
bisa mewujudkannya. Dengan kamu bekerja keras dan mengumpulkan uang, kamu bisa
menabung untuk biaya kuliahmu. Bukankah sekarang ini banyak orang kuliah ketika
umur tak lagi muda. Mereka bahkan sudah berkeluarga.” Pernyataan Rizki membuat
Argi tertawa, karena bagi Argi tetap sulit dan tak mungkin.
“Kenapa
tertawa? Kamu tak percaya? Hei, jangan ragukan kehendak dan rencana Allah. Jika
kamu bersungguh-sungguh Allah pasti membalasnya dengan hasil buah yang manis.
Kamu pasti bisa kuliah jika benar-benar berusaha untuk bisa kuliah.” Argi
berhenti tertawa setelah melihat wajah yakin dan semangat dari sahabatnya sejak
SMP itu.
“Baiklah,
terima kasih saran dan nasehatnya. Doakan saja semoga aku bisa mengumpulkan
uang yang banyak agar bisa meringankan beban orangtuaku dan menabung untuk
kuliah. Aku juga akan berusaha.” Argi akhirnya menyetujui saran Rizki.
“Begitu
dong... Jadi orang harus optimis!”
Rizki
terlempar kembali ke masa sekarang. Teringat satu kata terakhir, yang ternyata
pernah diucapkan oleh dirinya sendiri.
Rizki
beranjak dari duduknya. Langit sore akan segera berganti kemerahan. Dia
berjalan meninggalkan keramaian disekitar jalan Malioboro, depan benteng vrdeenberg.
Rizki pulang setelah seharian bekerja.
#####
Motor
tua memasuki jalan yang ramai oleh pengendara motor yang kebanyakan dikendarai
oleh laki-laki atau perempuan berpenampilan mewah, gaul dan modis. Tak jarang
ada mobil mewah melintas, ikut dalam keramaian itu. Membuat siang semakin
panas. Waktu dhuhur telah berlalu satu
jam. Maka motor tua itu menuju parkiran masjid.
Pengendara
motor itu adalah Rizki, pemuda berumur 25 tahun. Setelah memarkir motornya, dia
berjalan ke tempat wudhu. Kemudian memasuki masjid kampus dari universitas termegah
di Yogyakarta.
Usai
sholat, Rizki melepas lelah dengan istirahat sebentar. Duduk di tepi masjid.
Menyandarkan tubuhnya di pilar masjid yang besar. Matanya menerawang ke depan,
ke pohon palem yang ditanam teratur di pelataran masjid.
Tetapi
pikirannya lebih jauh menerawang. Kembali pada masa lalunya. Mengingat dulu
begitu kecewa saat tak lulus ujian masuk universitas ini. Beberapa temannya
lulus, di jurusan Teknik Elektro dan Informatika, seperti cita-citanya.
Kemudian dia mencoba lagi dengan ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri
seluruh Indonesia. Pilihannya tentu universitas ini dan jurusan Teknik Elektro
dan Informatika.
Sayang,
keinginan Rizki tak menjadi nyata. Dia gagal lagi. Malah diterima di universitas
swasta dengan jurusan Farmasi. Padahal dia tak sungguh-sungguh, hanya sebagai
cadangan jika tak diterima dimanapun.
Saat itu, tak ada pilihan lain. Pendaftaran universitas lainnya sudah
berakhir.
Maka
dimulai lah hari-hari kuliah Rizki dengan setengah hati. Juga kekecewaan dan
kemarahan tertahan, yang sering muncul di pikiran dan hatinya. Membuat ia makin
merasa sangat berat dengan kehidupan sebagai mahasiswa Farmasi.
Akhirnya
kemarahan itu mencapai klimaks, kesabaran Rizki di batas akhir. Dia memutuskan
berhenti kuliah di tahun ketiga. Alasannya beragam. Dari kuliah yang berat
dengan praktikum dan tugas sulit. Kemudian sejak awal tak menyukai Farmasi dan
ingin mencoba mendaftar lagi di universitas kebanggannya.
Padahal
dulu, di tahun kedua kuliah, Rizki kembali mendaftar di universitas itu.
Hasilnya tetap sama. Maka keinginan untuk kembali mendaftar ditentang banyak
saudara dan tentu orangtuanya.
Namun
keputusan Rizki sudah bulat. Tak tergoyahkan oleh bujukan semua orang
disekitarnya. Alasan berhenti makin kuat ketika ada tawaran dari temannya yang bekerja
di perusahaan elektronika sebagai supervisor. Dan Rizki benar-benar berhenti
kuliah, membuat kecewa semua orang, terlebih orangtuanya.
Hari-hari
berikutnya Rizki bekerja dengan semangat yang lebih besar dibandingkan saat
kuliah. Seperti mendapatkan kembali ambisinya dulu. Namun keahlian Rizki tak
setinggi semangatnya. Rizki tetap tak tahu banyak dan tak cakap dalam pekerjaan
itu. Kemudian dia dipecat dan menjadi pengangguran. Rizki frustasi. Apalagi
ketika bertemu dengan teman-teman kuliah dulu.
“Permisi
Mas!” lamunan Rizki dibuyarkan oleh pemuda yang berjalan didepannya, mengambil
sepatu yang berada di bawah kaki Rizki.
“Oh
ya.” Rizki membalas, memperhatikan mahasiswa itu, melihat jaket angkatan yang
dipakainya dan membaca Teknik Elektro dan Informatika dibelakang jaket itu.
Rizki kembali merasa sesak. Iri itu menyeruak lagi di hatinya. Sampai detik ini
Rizki masih menyesal dan kecewa tidak bisa masuk di universitas ini. Jika ia
bisa kuliah disini, mungkin dia tidak akan dipecat dari pekerjaannya dulu.
#####
“Rizki?!
Kamu bekerja disini?“ Rizki dikagetkan dengan kehadiran pengirim yang baru
masuk. Teman SMAnya.
“Ah,
iya.” Gugup Rizki menjawab. Cepat atau lambat pasti ada teman yang tahu keberadaannya,
pekerjaannya. Seorang kurir di salah satu perusahaan jasa pengiriman swasta.
“Bukannya
kuliah di Farmasi? Nggak diterima bekerja dimana pun ya?” temannya menerka,
“E...
iya benar.” Rizki kembali menjawab pendek, dia bingung mau memberi jawaban yang
seperti apa. Ini seperti aib dalam hidupnya. Dia malu.
Temannya
telah berlalu dari hadapannya, tetapi rasa itu masih berada di hatinya.
Perasaan menyesal. Rizki mulai menyadari kesalahannya. Menyesali perbuatannya.
Dia
kembali ingat pada Argi. Seseorang yang tak seberuntung dirinya. Setelah mereka
lulus tak ada komunikasi lagi antara Rizki dengan Argi. Tidak ada kabar pula
tentang Argi. Tak ada yang tahu. Rizki
ingin ke rumahnya, tetapi sejak dia memutuskan berhenti kuliah, dia sangat malu
untuk bertemu dengan teman SMA. Apalagi dengan Argi.
“Apa
kabar dengan Argi ya?” Rizki bergumam dalam hati dan tiba-tiba keinginannya
bertemu Argi kembali muncul di hati. Maka ia putuskan sore ini, usai kerja dia
akan pulang ke desa dan esoknya ke rumah Argi.
#####
“Sudah
pindah?” Rizki memastikan jawaban atas pertanyaannya pada tetangga Argi saat
dia mendapati rumah Argi kosong.
“Iya
Mas, udah lama. Sekitar dua tahun lalu. Mas, teman Argi ya?” tetangga Argi
bertanya, lelaki yang lebih muda dari Rizki.
“Iya.
Saya Rizki.” Rizki mengulurkan tangannya.
“Fandi.”
Menyalami Rizki
“Kamu tahu
dimana Argi sekarang. Atau kamu bisa ceritakan padaku apa yang terjadi dengan
keluarga Argi?” pertanyaan Rizki dijawab anggukan oleh Fandi dan mereka pun
duduk di teras rumah Argi.
“Dua
tahun setelah Argi lulus, dia memlilih bekerja di Arab, menjadi buruh di pabrik. Meninggalkan
pekerjaannya di percetakan. Dia dan beberapa temannya pergi dengan harapan bisa
mendapat uang banyak.” Fandi memulai ceritanya.
“Dan
memang benar, Argi dapat uang banyak. Dia selalu mengirimkan uang untuk
keluarganya. Untuk adik-adiknya.”
“Setahun
kemudian dia pulang, saat lebaran. Dia senang sekali. Dia bercerita padaku jika
seperti ini terus dia bisa menjadi kaya. Aku masih ingat dia tertawa dan sangat
bahagia. Dia mentraktir kami, teman-temannya disini. Kehidupan keluarga Argi
makin baik, dan tak kekurangan lagi. Pokoknya mereka sangat bahagia. Argi
merasa keputusannya tak melanjutkan kuliah tak sia-sia karena dia bisa
mengangkat kehidupan keluarganya.”
Rizki
mendengarkan dengan serius. Perasaannya ikut bahagia mengetahui sahabatnya berhasil.
Tetapi juga iri, karena dia tak bisa sesukses Argi dalam mencari uang.
“Tetapi...
kebahagiaan itu tak berlangsung lama.” Fandi memelankan suaranya, membuat
kening Rizki berkerut.
“Apa
yang terjadi?” Rizki penasaran
“Enam
bulan setelah Argi pulang dan kembali ke Arab, Argi kecelakaan di pabrik. Dia
terkena gas beracun. Banyak buruh yang meninggal, termasuk Argi.”
Deg!
Jantung Rizki berdentum,
“Argi...
sudah meninggal?!” Rizki tak percaya
“Iya.
Jenazahnya tiba dua hari kemudian. Keluarganya sangat terpukul. Kami bersedih.”
Fandi beraut wajah sendu. Rizki terlebih lagi, wajahnya pias. Sedih tertahan.
“Lebih
menyedihkan lagi kehidupan keluarganya yang kembali seperti semula. Bahkan adik
Argi yang sudah kuliah harus berhenti. Tak punya biaya.” Fandi meneruskan
cerita dan Rizki masih mendengarkan dengan rasa yang bercampur aduk.
“Setahun
kemudian, setelah adik kedua Argi lulus SMA, mereka memutuskan pindah ke desa
kakek Argi. Mereka menjual rumah ini dan dibeli orang yang kasihan pada mereka
tanpa menempati rumah ini. Jadilah rumah ini tak terurus.” Fandi diam sejenak,
membuat hening. Sedangkan Rizki tak bisa berkata-kata, hatinya berkecamuk.
“Kenapa
Mas baru tahu Argi sudah meninggal? Waktu pemakaman banyak teman SMA nya yang
datang.” Deg! Rizki tersentak, menyadari kebodohannya. Malu dan menyesal.
Karena ia telah memutuskan hubungan dengan teman-teman SMA nya. Seolah menghilang dari mereka. Bersembunyi
ketika melihat mereka. Tak lain adalah karena Rizki malu pada kehidupannya
sekarang.
“Mas
Rizki?” suara Fandi kembali menyentak hatinya, membuyarkan lamunannya.
“Aku
ganti no dan tak ada hubungan lagi dengan teman-teman SMA.” Jawab Rizki
sekenanya
“Oh...
Aku jadi ingat, Argi pernah bilang bahwa teman SMA nya ada yang perduli pada
kelanjutan studinya. Dia jadi ingin membuktikan pada temannya itu jika dia juga
bisa kuliah kelak. Ketika uangnya sudah terkumpul banyak. Dia ingin kuliah di
Arab sambil kerja. Dia benar-benar bersemangat mengatakan itu. Dia bahkan
berjanji, jika dia sudah kuliah akan mencari temannya itu dan bilang bahwa dia
tak mengubur cita-citanya dan sudah berusaha menggapai cita-citanya.” Seketika
juga air mata Rizki mengalir, dia tahu bahwa teman yang dibicarakan Argi pada
Fandi adalah dirinya.
“Sayang,
sebelum itu terjadi Argi sudah pergi...” Fandi berkata dengan memandangi
halaman rumah Argi. Sementara Rizki terhanyut pada kesedihan mendalam. Tak
hanya karena kepergian Argi, tetapi juga karena semangat Argi tak pernah
hilang. Dia selalu berusaha mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan kuliah. Sedangkan
dirinya...
“Sabar
Mas Rizki, kita semua juga sedih kehilangan Argi...” Fandi berkata saat
dilihatnya Rizki menangis tersedu.
Beberapa
saat hening lagi diantara mereka. Setelah agak tenang, Rizki berkata pada
Fandi.
“Bisa
kah kau antarkan aku ke makam Argi?” Rizki berkata dan Fandi mengangguk.
Kemudian mereka berjalan menuju pemakaman.
“Mas
Rizki, aku tinggal ya, ada yang nyari.” Fandi berkata setelah tiba di makam
Argi.
“Iya,
terima kasih banyak Fandi.” Rizki menyalami Fandi sebelum Fandi pergi.
Rizki
berlutut dengan lemas di samping makam Argi. Teringat semua bayangan masa lalu.
Masa ketika mereka merencanakan cita-cita. Mengkhayalkan masa depan yang indah.
Air
mata Rizki kembali menetes teringat betapa ia menyia-nyiakan kesempatan kuliah.
Sedangkan Argi harus bersusah payah agar bisa melanjutkan pendidikan.
“Maafkan
aku Argi, aku tak pernah lagi menemuimu dan aku seolah mengkhianati janjiku
sendiri...” Rizki tergugu, dia benar-benar menyesali keputusannya dulu. Jika
Argi masih hidup maka tak terbayangkan kemarahan Argi padanya. Betapa malunya
Rizki mengakui kebodohannya pada sahabatnya.
Sekarang,
semua telah terjadi dan tak bisa membuat Rizki kembali ke masa lalu untuk
memperbaiki kesalahannya. Tetapi dia merasakan semangat Argi tetap hidup.
Semangat untuk mewujudkan cita-cita.
“Argi,
aku akan berusaha mewujudkan cita-citaku, cita-citamu juga, cita-cita kita.
Kuliah dan mendapat gelar S1. Aku akan memulainya lagi. Aku berjanji.” Rizki
tersenyum dan meninggalkan sahabatnya. Pergi dengan membawa semangatnya.
#####
Inspirated
by my best friend...
Sahabat,
semoga kau bisa wujudkan cita-citamu... Kau pasti bisa. Karena kau adalah bunga
matahari untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentari Tulisanku Sobat...