Ayah, ada satu
permintaanku padamu. Namun, betapa sulitnya kukatakan ini pada Ayah. Kesulitan
ini apakah wujud cintaku padamu atau bukti tak ada cinta. Entahlah Ayah. Aku
bimbang. Sebelumnya, ada yang ingin kuceritakan kepadamu, Ayah. Mungkin lebih
tepatnya menceritakan kembali.
Dini hari di
dalam kereta, engkau tertidur pulas. Aku yang disampingmu antara ingin dan ragu
untuk membangunkanmu. Bertanya, sudah sampai mana? Sudah dekat kah? Sayang,
ragu-raguku yang lebih mengusai otakku. Jadilah kita terlewat dari stasiun
tujuan kita. Maaf Ayah...
Inilah kali pertama
aku merasa inginku adalah untuk kebaikanmu dan kita semua. Keinginan yang tak
tersampaikan. Aku menyesal.
Lalu kita turun
di stasiun berikutnya. Dan kembali dengan kereta berikutnya, yang menuju
stasiun sebenarnya. Kau menggendongku Ayah, di punggungmu. Padahal engkau
membawa beban tas dan kardus. Sungguh terasa kehangatan cintamu. Kau pun
menenangkanku dengan berkata,
“Kita pasti akan
segera sampai rumah, Iva.” Engkau mengetahui khawatirku
Dan benar,
ketika adzan subuh bersahutan, kita sampai juga di rumah. Bahagia rasanya.
Engkau lah penolongku, Ayah...
Masa berikutnya
adalah 6 tahun kemudian, ketika aku kelas 5 SD. Ada suatu kepiluan yang tak
terlihat olehmu, juga Ibu. Di sekolah aku diolok-olok teman-temanku laki-laki.
Bahwa Ayah seorang penjudi, pengadu nomor. Sakit hatiku Ayah. Aku berkoar-koar
pada mereka bahwa berita itu tak benar. Aku bilang Ayah bukan orang yang
seperti mereka katakan.
Pada akhirnya,
aku tahu kebenarannya. Engkau seperti yang mereka bilang. Hatiku lebih sakit,
Ayah. Apalagi ketika aku mendengar tak sengaja pertengkaran Ayah dengan Ibu
karena masalah itu. Aku menjadi tahu kalau ibu pun sakit karena hal ini. Ayah,
bagaimana aku harus bersikap? Aku bimbang ketika itu. Hanya bisa menangis dalam
doaku. Semoga Ayah kembali sadar. Dan aku tak bohong lagi pada teman-temanku.
Menyanggah kenyataan pahit ini.
Aku ingin Ayah
menjadi Ayah yang mengayomi. Bukan menyakiti. Aku tahu Ayah sedang khilaf dan
terbawa arus keburukan. Karena orang-orang pun sedang terlena oleh kemaksiatan
itu. Aku percaya Ayah akan berhenti dari perbuatan setan itu. Aku yakin doaku
dan juga doa ibu akan terkabul.
Benar lah,
setelah beberapa bulan, semuanya kembali semula. Kau tersadarkan oleh peringatan
dan razia oleh pemerintah. Bersyukur, ayahku yang dulu telah hadir lagi. Ayah
yang selalu menasehati dan menyemangati aku, adik dan kakak. Mengajari kami
belajar. Menceritakan dongeng kancil sebelum tidur. Aku bahagia Ayah telah kembali
ke jalan yang benar.
Sekarang kau
tahu yang ku alami dan rasakan, Ayah. Sudah kah kau rasakan cintaku padamu? Ah,
belum ya. Yang terasa adalah cintamu padaku. Bahkan sejak aku dalam kandungan,
cinta itu sudah terasa. Terpancar dari hatimu, Ayah.
♥♥♥♥♥
Cerita
berikutnya yang ingin kusampaikan adalah ketika pendaftaran masuk SMP. Aku
pindah dari Indramayu, Jawa Barat ke Yogyakarta. Tempat asal Ayah dan Ibu. Itu
keinginan Ayah dan Ibu, juga keinginanku.
Tapi, ada masalah.
Persyaratan dari Indramayu kurang. Dan kau tanpa memanjangkan pikir segera pergi
untuk mengambilnya. Secepatnya juga kau kembali. Sungguh perjuangan istimewa
untukku. Aku tersanjung Ayah... Kau sungguh penolongku...
Sekarang, aku
merasa betapa panjang deretan perjuangan dan pengorbananmu untukku. Dan akan
bertambah panjang seiring bertambahnya usiamu. Tak hanya untukku, namun juga
untuk Kak Fina dan Bagas. Dan keburukanmu di masa lalu terhapus oleh peluhmu,
Ayah...
Aku ingat,
betapa bahagianya engkau ketika aku diterima di SMP favorit dan paling baik
sekabupaten. Aku lebih bahagia Ayah, karena telah hadirkan senyum pada Ayah dan
Ibu. Pun ketika aku kemudian diterima di SMA yang favorit se-Kabupaten juga. Ku
anggap itu bukti cintaku kepadamu. Membuatmu bahagia.
Aku juga tak
akan lupa pada pujianmu. Kata-kata manis yang tersimpan rapi dalam memoriku.
“Sejak dulu,
Bapak selalu merasa Ivana tertarik dalam bidang Sains. Karena Iva pintar dalam
IPA dan matematika. Jadi tepat sekali jika Iva memilih jurusan IPA ini. Akan
menjadi ahli Paspal.” Aih, Ayah selalu bisa membuatku tersipu oleh sanjunganmu
yang tak kau berikan pada Kak Fina dan Bagas. Satu tanda lagi aku merasa aku
istimewa di mata dan hatimu, Ayah.
Dukungan mu pula
yang selalu menjadi semangat utamaku. Katamu,
“Pilihan jurusan
kuliah ada di tangan Iva. Bapak dan Ibu selalu mendukung. Jika Iva yakin untuk
memilih Farmasi, Bapak senang sekali. Karena jurusan itu sangat bagus menurut
Bapak. Iva pasti bisa.” Benar kan, Ayah lah yang selalu mengisi ruang
semangatku.
Hingga saat ini,
Ayah tetap menjadi lelaki terhebatku. Bagaimana tidak, kau tak pernah mengeluh
di hadapanku. Tentang kesulitan dan hidupmu. Membuat aku meniru ketegaranmu.
Tak pernah lagi buat aku sedih dan menangis setelah kejadian pahit itu. Kau
selalu buat aku tertawa dengan candamu. Membuka mataku pada dunia ini. Selalu
ada dalam suka dan duka ku. Kata-katamu adalah mutiara untukku yang tengah
rapuh.
Betapa melimpah
ruah cintamu padaku, Ayah. Buat aku terbuai. Diselaputi cinta, tentu akan menyamarkan
segala keburukanmu. Tak ada celah untuk masuknya prasangka buruk tentangmu.
Yang ada adalah pernyataan bahwa Ayah mendekati kesempurnaan sosok seorang
Ayah.
Tapi, ada pisau
tajam yang merobek selaput itu. Membuka mataku yang terbutakan cintamu. Aku
dihadirkan pada sebuah kenyataan menyakitkan. Kebenaran dan kebaikan yang lain
menyadarkanku pada kesalahan yang telah kau lakukan, Ayah.
Aku masih ragu,
Ayah, apa ini benar menyakitkan atau hanya luka semu. Lama aku berfikir.
Menimbang apa Ayah salah atau Ayah tetap benar. Menganggap perbuatan Ayah
adalah suatu kewajaran atau kah suatu penjerumusan. Ya, terjerumus dalam dosa.
Itu yang dikatakan mereka. Aku semakin sering mendengar pengaharaman atas
perbuatan Ayah. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana Ayah?
♥♥♥♥♥
“Sekarang,
bapak-bapak tetangga kita selalu sholat wajib di masjid, Va. Kapan bapakmu bisa
begitu.” Ibu berkata padaku dari seberang telepon di suatu sore ketika Ayah
pergi. Aku hanya tersenyum.
Aku tak
menyesali perbuatan Ayah yang satu ini. Pasti ada alasan, meski mungkin lebih
ke arah enggan. Ayah tetap sholat lima waktu. Walau tak pernah menjadi imam
kami. Tidak, sekali lagi bukan tentang ini Ayah. Ada yang lain yang lebih aku
pikirkan. Menyiksa perasaanku.
Selama setahun
ini aku terus memikirkannya. Aku yang telah dewasa berusaha keras mencari
kebenaran perkataan mereka. Setiap yakin, aku ragu lagi ketika bertemu
denganmu. Pertemuan kita tak setiap hari kan Ayah. Jadi ketika tak bersama
dirimu, aku mantap untuk mengungkapkan isi pikiranku. Namun ketika kau bersama
diriku, hal yang kusampaikan menguap entah kemana. Terdesak oleh rindu dan
bahagiaku akan hadirnya dirimu. Aku terlalu lemah kah? Terlalu bodoh?
Keinginan untuk
ungkapkan pendapatku muncul lagi ketika kau lakukan perbuatan itu. Dan seketika
juga hatiku gelisah yang berasa sesak. Ayah, andai kau dengar suara hatiku.
Pasti aku tak akan kesulitan utarakan dalam barisan kata dari bibirku.
Tahukah Ayah,
jika orang lain yang melakukan perbuatan itu di dekatku, aku akan langsung
mendengus dan memaki dalam hati. Mungkin bisa sumpah serapah buruk juga. Tapi
tentu tak akan kulakukan padamu, Ayah. Bahkan ketika aku kehabisan udara karena
oksigen hampir seluruhnya tergantikan oleh asap. Ya, asap dari hembusan nafas
dan mulutmu Ayah. Dan itu berlangsung setengah jam. Aku tak bisa lakukan apa
pun. Tak mampu aku mengusik kesenanganmu. Tak tega membuatmu menjadi kikuk dan
merasa bersalah padaku. Jadi aku tetap diam, Ayah. Aku anggap ini sebagai
pengorbananku. Wujud cintaku padamu.
Lalu ketika kau
lakukan di dekat anak-anak balita atau anak yang sedang sakit, aku makin
bimbang. Apakah perbuatanku ini benar? Membiarkanmu merasakan nikmatnya
tembakau dan membuat anak-anak itu teracuni. Oh Ayah, tak tahukah kau telah
berlaku zalim pada mereka. Kau egois tanpa memperdulikan apa yang terjadi pada
mereka. Padahal kau pasti tahu akibat yang terjadi pada anak-anak yang masih
rentan itu.
Ayah, haruskah
kujabarkan akibat dari perbuatanmu? Pada kesehatanmu, pada kesehatan
orang-orang di sekitarmu, pada keuangan keluarga kita. Apakah kau mau
mendengarnya? Pasti akan terasa membosankan dan kau akan sebal padaku. Aku tak
mau membuatmu kesal atau tak enak. Jadi, aku tak pernah jelaskan semua itu.
Aku juga telah
menyimpan satu buku untukmu, Ayah. Buku yang semoga bisa membuka pikiranmu.
Menyadarkanmu. Tapi, buku itu hingga sekarang belum juga sampai di tanganmu.
Keberanianku tertutup ragu-ragu dan pikiran burukku. Aku takut engkau tak suka.
Jangankan aku,
Ibu pun sudah jengah dengan nasehatnya padamu. Bahkan Ibu telah luluh dan
membiarkan Ayah berbuat sesuka hati. Karena Ayah selalu menyanggah dengan
perkataan,
“Sudah menjadi
kebiasaan, susah berhenti. Bapak juga selalu sehat. Tidak pula mengacaukan
anggaran hidup keluarga kita. Jadi tidak ada masalah kan?”
Mungkin sekarang
tidak, Ayah. Tapi apa bisa menjamin kelak tetap tak ada masalah. Kau semakin
renta dan segala sakit itu akan datang. Tak ingin kah kelak kau akan menggendong
cucu-cucumu? Bukan aku mengharapkan sesuatu yang buruk padamu, hanya berfikir
nyata. Telah banyak bukti di sekitar kita. Tentang mereka yang kalah oleh
penyakit dan terbelenggu kelemahan akibat asap beracun itu. Bahkan kematian
datang karena asap itu.
Lalu bagaimana
Ayah? Apa yang sebaiknya aku lakukan? Bolehkah kusampaikan permintaanku padamu?
Banyak sekali tanya yang ingin kuajukan padamu. Dan jika jawabanmu adalah ya,
maka dengarlah permintaanku padamu,
“Pak, aku hanya
ingin satu hal. Satu saja permintaanku yang sangat ingin Bapak penuhi. Aku
ingin Bapak berhenti menghisap asap racun yang menyakiti tubuh Bapak dan
orang-orang di sekitar Bapak.”
Sederhana sekali
permintaanku. Hanya saja, betapa runyam dalam otak ku. Hatiku. Akan sederhana
juga kah pada kenyataannnya.
Ayah, bimbangku
lebih sering kalahkan niat kebaikan dalam hatiku. Akan kah keinginan ini juga
terserap kebimbanganku? Jujur aku tak rela. Karena aku tahu dan sangat yakin,
keinginanku adalah baik untukmu. Untuk hidupmu sekarang dan kelak di akhirat.
Jikalau
permintaanku itu tak terucap, aku akan senantiasa berdoa agar kau sadar dan
berhenti. Kusisipkan dalam setiap doaku. Aku ingin yang terbaik untuk Ayah. Tak
ingin hal buruk menimpa Ayah. Di dunia dan di akhirat. Tak sanggup aku membayangkan
Ayah mendapat hukuman berat kelak atas dosa Ayah yang satu ini. Tak tega aku
menyaksikan Ayah disalahkan Tuhan karena telah membuat orang-orang yang Ayah
sayangi juga sakit.
Duhai Ayahku
yang sangat kusayang, cintamu padaku besar dan tak dapat kutandingi.
Pengorbanan serta perjuanganmu indah. Romantisme yang kau berikan pada kami
akan selalu menghadirkan kebahagiaan. Semoga doa cintaku padamu mampu mengetuk
hatimu, Ayah. Aku selalu mencintaimu, Ayah.
“Ayah, jika aku harus berkorban untuk membuktikan
cintaku, akan kulakukan Ayah. Mengorbankan tubuhku agar kau sadar bahwa
perbuatanmu adalah suatu kesalahan.”
♥♥♥♥♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentari Tulisanku Sobat...