Wanita ini
mendesah di depan cermin. Desahan yang berat. Sore ini dia telah rapi dengan
rok putih bermotif garis hitam saling menyilang membentuk belah ketupat.
Dipadukan dengan baju lengan panjang warna biru dan kerudung biru yang hampir
sewarna dengan bajunya.
“Pergi sekarang
saja lah.” Bisiknya sambil menatap wajah sendunya.
Ia berbalik
menghampiri tas laptop pemberian kakaknya yang sudah lulus kuliah dan tak
menggunakan lagi tas itu. Dia segera memasukan laptop, buku cerita nonfiksi
yang belum habis baca, pensil isi, buku tulis dan mukena. Tak lupa dompet dan
handphone. Dia mengamati sebentar dompetnya. Sebuah pemberian dari kakaknya
juga. Masih baru.
Ia mengenakan jaket coklatnya. Lalu keluar kamar. Menstarter motornya dan pergi dari kosannya, menuju tempat yang menyejukan hatinya. Menenangkan kemelut di pikirannya. Wanita ini, yang berusia sekitar 21 tahun, tengah risau dengan masalah-masalah kecil yang membukit.
Lima belas menit
kemudian, ia telah memasuki tempat parkir. Dia menghentikan motornya di bawah
pohon kecil, berjejer bersama motor lain. Ia berjalan memasuki bangunan besar tempat ibadah mahasiswa
universitas ini. Sudah beberapa kali ia datang kemari. Ia suka megahnya masjid
ini. Suka air mancur dan kolam depan masjid. Taman yang ditanami palem dan
rerumputan hijau selalu menyegarkan pandangan.
Kali ini dia tak
menikmati semua itu. Ia memilih menaiki tangga menuju tempat shaf putri. Sore
menjelang maghrib ini dia ingin menghabiskannya dengan merenung sambil menulis.
“Jika hati
sedang kalut dan resah, datanglah ke masjid. Insya Allah hati akan lebih
tenteram.” Teringat perkataan ustadz di pengajian.
Ketika sampai di
lantai 2, ia berjalan di pojokan masjid. Berdiri sejenak di tepi balkon.
Memandangi air mancur dan pepohonan. Menghirup udara sejuk. Menghembuskan
dengan kelegaan. Langit mulai meredup. Ia kemudian berbalik dan duduk bersandar
tembok. Membuka laptop dan menuliskan gundah hati.
Berhenti
sejenak, mendengar pengajian di lantai bawah yang dihadiri para ikhwan. Ceramah
tentang tauhid. Tetapi pikirannya ingin menangkap sesuatu yang ringan
dibandingkan dengan ceramah itu. Maka ia membuka buku nonfiksi yang dibawanya.
Endless Life. Buku yang ditulis oleh seorang wanita cacat tentang kehidupannya
yang sarat perjuangan. Ia seperti mendapat semangatnya.
Kembali menulis.
Dengan lebih positif. Bahwa masalah-masalah kecil tentang kuliah, skripsi atau
lainnya tak seberapa dibandingkan masalah-masalah penulis buku Endless Life.
“Hh... aku
kekanakan sekali ya kalau selalu marah dan sedih berlarut hanya karena
masalah-masalah sepele itu.” Bisiknya dalam hati.
Ia menengadah ke
langit dan mendapati kelam. Sebentar lagi pasti adzan. Ceramah pun telah
berakhir beberapa menit yang lalu. Kesunyian benar-benar menyelimuti masjid
ini. Ketika matanya masih mengamati suasana yang kian gelap, saat itulah ada
seorang wanita yang berjalan ke tepi balkon. Wanita itu menoleh sekilas ke
arahnya yang masih memangku laptopnya. Mereka saling temu pandang. Lalu wanita
itu berbalik dan berjalan meninggalkannya sendiri.
Adzan terdengar.
Ia mengemasi barang-barangnya. Berjalan ke pojok lain masjid untuk mengambil
wudlu. Disitu sudah ada wanita berjilbab besar yang baru saja menyalakan air. Ia
menaruh tasnya agak jauh dari tempatnya menyalakan air.
Ia mengambil
mukena ungunya yang berbahan parasit. Sudah ada beberapa wanita yang bersiap
mengenakan mukena. Dan kian banyak yang datang. Setelah terdengar iqomah. Ia
berdiri dan merekatkan barisan shaf.
Kini dia di
dekat pilar tengah masjid. Di barisan paling depan. Sehingga bisa melihat shaf
ikhwan di bawah. Ia hendak meletakan tasnya di depan. Tapi entah kenapa dia tak
jadi dan yakin pada tempat di belakangnya. Menyenderkan tas pada pilar besar.
Toh masih dekat dengan kakiku, pikirnya.
Maka ia khusyuk
sholat. Berusaha meminta pertolongan dengan sholat. Agar tenang hatinya. Kedua
salam pun diucapkan. Ia segera berdzikir. Beristighfar. Memohon ampun karena
selalu mengeluh dan berpikir buruk.
Matanya berkaca
saat menengadahkan tangan memohon semua yang diinginkannya saat ini.
Ketenteraman. Ketegaran. Keikhlasan...
Ketika ia
berbalik, jantungnya seperti deru kereta yang mulai berjalan. Ranselnya tak
ada. Kepanikan menjalar. Ia berdiri memeriksa sekitar. Mengitari pilar besar.
Tak ada. Deru di hatinya kian kencang. Ia berjalan ke sederetan barisan.
Wajahnya menegang. Seperti orang gila, ia berjalan cepat kesana kemari meneliti
tas yang tergeletak. Berharap itu adalah miliknya.
“Mbak, lihat tas
ransel saya yang di situ?” ia bertanya pada wanita yang duduk di dekat tangga
menghadap pilar tempatnya menaruh tas.
“Nggak Mbak,
saya baru datang pas mau salam tadi.”
“Ya Allah... kemana
dong... Atau mbak lihat ada yang mengambil tas disitu?”
“Nggak juga
Mbak. Kenapa Mbak?”
“Tasku hilang.
Tadi aku taruh disitu dan sholat. Tapi pas udah selesai, nggak ada. Astagfirullah...
gimana ini?”
“Sebenarnya,
tadi ada yang jalan cepat bawa tas ransel item. Tapi nggak tahu, mungkin punya
dia sendiri.”
“Astagfirullahadzim...
aku harus bagaimana Mbak? Tolong aku Mbak... Astagfirullah...”
“Ada apa Mbak?”
seorang ibu muda menyapanya yang terlihat sangat panik.
“Tas saya hilang
Bu... Tadi saya senderkan di pilar. Di belakang saya sholat.”
“Isinya apa
Mbak?”
“Laptop, dompet,
hape, semuanya...”
“Inalillah...
sebaiknya tanya ke satpam, mungkin bisa membantu.” Ibu yang terlihat ramah
mengusulkan padanya.
“Mbak, bisa tolong
temani saya ke bawah, menemui satpam?” yang diminta hanya mengangguk.
“Oh ya Mbak,
bisa pinjam hape untuk telepon HP saya...” dan mbak itu segera memberikan HP
nya.
Dia segera
menelepon no nya sambil berjalan menuruni tangga. Ia masih memakai mukenanya.
Berjalan menemui satpam.
“Astagfirullah,
masih nyambung Mbak!” pekiknya bergetar
“Berarti dia
belum sadar ada HP di dalam tas Mbak dan belum mematikan.”
Nada sambung
terus terdengar sampai ia di lantai bawah. Dan ketika di depan satpam, nada itu
mati. Ketika akan menelepon lagi, sudah tidak aktif. Ia menyerah.
“Pak, tas saya
hilang. Tolong saya Pak...”
“Coba lihat di
kamar mandi, biasanya dibuang disitu tasnya.” Ia segera melangkah dengan cepat
menuju kamar mandi. Tetapi nihil. Dia kembali lagi ke Pak Satpam yang
berbincang dengan Mbak itu, menceritakan kejadian kehilangan itu.
“Nggak ada Mbak,
Pak. Bagaimana sekarang...” Ia berjalan lagi menaiki tangga, menemui Ibu tadi.
Pak Satpam dan Mbak itu mengikuti.
“Pak satpam
tidak bisa membantu, lalu saya harus bagaimana Bu?”
“Waduh,
bagaimana ya? Biasanya kalau hilang, ya sudah tidak kembali. Laptopnya apa
Mbak?”
“Merk hp, baru
beli sebulan lalu.”
“Sabar Mbak,
Allah sedang menguji Mbak. Lalu di dompet ada uang banyak?”
“Tidak, tapi ada
ATM.”
“Ada uangnya?”
“Iya, dua juta,
untuk bayar kuliah.”
“Wah, itu harus
cepet di blokir.”
“Tapi, aku jadi
takut. Aku takut pada orang-orang di rumah karena menghilangkan barang-barangku
yang berharga.” Suaranya bergetar, wajahnya sendu.
“Memang perasaan
bersalah itu ada, tapi ini adalah kelalaian yang tidak diinginkan. Sabar
Mbak... Sekarang sebaiknya Mbak segera blokir sebelum terlambat.”
“Baik. Terima
kasih Bu... Tapi, adakah yang bisa menemani saya... Mbak bisa bantu lagi?” ia
menoleh pada Mbak yang tadi.
“Maaf, saya tadi
hanya nebeng. Sebaiknya sama teman saya, dia bawa motor dan helm.” Mbak itu
menunjuk temannya yang berada disampingnya. Dan mbak itu mengangguk.
Keduanya
berdiri. Tak lupa ia melepaskan mukenanya. Melipat dan diselipkan dalam jaket
yang ia pakai. Untunglah kunci motor ia masukan dalam saku rok. Ia bisa pergi
mengurus lain-lain dan pulang dengan mudah.
“Namanya siapa
Mbak?” ia bertanya pada Mbak baik hati setelah usai mengurus semuanya.
Setengah jam
yang sangat menyibukan dirinya. Ke bank untuk meminta no customer service.
Menelepon dengan Hp mbak itu. Kemudian mereka ke pos polisi untuk mengurus
surat kehilangan kartu mahasiswa, KTP, SIM dan STNK. Tetapi mereka disuruh ke
kantor polisi. Dan mereka secepatnya pergi ke kantor polisi yang tak terlalu
jauh.
“Fina. Mbak?”
wanita penolong itu menjawab dengan wajah ramah, mereka masih di parkiran
kantor polisi.
“Syiva. Kuliah
di jurusan apa? Semester berapa?”
“Jurusan
farmasi, semester 5.”
“Ah, sama. Aku
juga di farmasi, semester 7.” Ia terlihat lebih tenang
“Mbak, maaf ya
aku jadi merepotkan... bener nggak ada urusan atau kepentingan lagi Mbak Fina?”
ia sedikit merasa tak enak dengan kesusahan yang terjadi karenanya.
“Sebenarnya ada
pertemuan, tapi tak apa Mbak, bukan rapat penting. Dan jangan panggil Mbak, aku
kan lebih muda, jadi nggak enak sendiri.” Fina tersenyum menanggapi.
“Ohya, terima
kasih banyak untuk pulsanya. Sampai habiskan hampir 20 ribu untuk telepon bank
tadi. Besok saya ganti, insya Allah...”
“Tidak apa Mbak,
aku ikhlas.”
“Fina, aku minta
no mu, biar lebih dekat lagi.” Fina kemudian menuliskan no nya di kertas kecil
dan menyerahkan pada Syifa.
“Mbak mau sholat
dulu atau langsung pulang?”
“Sholat dulu,
biar tenang.”
“Kalau ke masjid
kampus, Mbak masih trauma ya? Em, ke masjid dekat sini saja ya.” Fina memberi
usul dan Syifa mengangguk.
Sampai di masjid
itu, yang cukup besar, mereka segera mengambil wudlu. Syifa mengeluarkan mukena
dari dalam jaketnya. Tas kecil mukenanya ikut terbawa tas yang hilang.
Syifa
mempersilakan Fina menjadi imam. Ia merasa Fina lebih dalam ilmu agamnya.
Terlihat dari pakaiannya yang lebih longgar dan besar dari Syifa. Dan memang
benar, Fina lebih fasih bacaannya. Lebih khusyuk.
Di rakaat
pertama, Fina melantunkan surat Ar-Rahman. Mendadak hati Syiva bergetar. Ia
merasakan dalamnya ayat-ayat Allah ini. Teringat betapa ia lupa pada maha
rahman Allah. Ketika tiba disurat ke tiga belas, air matanya mengalir.
Menyadari sungguh nistnya dirinya. Mendustakan nikmat Allah. Mengeluh dan bersedih
pada hal yang sepele.
Di rakaat kedua
Fina membaca surat Al-Insyirah, Syifa kembali bergetar. Tak hanya hatinya,
namun juga tubuhnya. Seolah Fina ingin menyampaikan pesan Allah pada Syifa.
Bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Air matanya terus mengalir.
Setelah salam
diucapkan, Syifa khusyuk beristigfar. Lebih khusyuk dari sholat maghrib tadi.
Saat ia kembali menengadahkan tangan, doa yang terucap hanya memohon ampunan.
Betapa selama ini dia jauh dari Allah.
“Sekali lagi,
terima kasih banyak Fina. Sudah mau bersusah membantuku.” Syifa berkata di
pelataran masjid.
“Sama-sama
Mbak.”
“Sebenarnya aku
bisa ikhlas, tapi rasa takut itu lebih besar. Aku takut mengecewakan
orangtuaku.” Syifa teringat lagi pada kehilangannya.
“Laptop itu baru
lunas dua hari kemarin. Ibu membelikan dengan uang pinjaman. Dan ketika dia
bisa membayar hutang itu, Ibu terlihat sangat bahagia mengabarkan padaku.
Sekarang, aku malah menghilangkannya...” dan air mata perih kehilangan itu
tumpah seketika. Air mata yang ia tahan sejak tadi.
Fina segera
memeluk Syifa. Menenangkan Syifa dengan mengelus pundaknya.
“Bismillah Mbak,
serahkan semua kepada Allah...”
“Aku merasa
sangat bersalah, benar-benar akan menyakiti hati orangtuaku...” air mata Syifa
semakin deras dalam dekapan Fina.
“Sabar Mbak,
yakin kepada Allah. Bismillah, semua akan baik-baik saja...” Fina terus
mengelus pundak Syifa hingga beberapa detik. Hingga Syifa tenang dan menghapus
air matanya.
“Semoga
orangtuaku bisa ikhlas dan memaafkan aku. Doakan ya Fina...”
“Tentu, aku
doakan semua ikhlas dan sabar. Yakin bahwa ini adalah ujian dari Allah. Insya
Allah semua akan kembali baik, Mbak.” Fina berkata dengan senyum, menularkan
ketenangan pada Syifa.
“Iya, insya
Allah...” Syifa pun tersenyum, dengan lebih tulus dan lebih lega.
Epilog
Tiga
bulan berlalu, Syifa masih mengingat kejadian itu. Dengan pandangan yang lebih
jernih.
“Benar, semua
adalah ujian menuju peningkatan iman. Ayat-ayat itu selalu menyadarkan aku.
Terima kasih Fina, telah memperdengarkan di saat yang tepat. Terima kasih telah
menjadi bukti cinta Allah padaku. Dalam kesulitan, Engkau sertakan penolong.
Sungguh indah takdirMu untukku...”
“Kata ustadz,
kehilangan itu adalah tanda kita akan mendapatkan sesuatu yang baru...” Syifa
tersenyum di depan laptop barunya.
“Sungguh, Allah
pemberi rezeki yang terbaik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentari Tulisanku Sobat...