Hari
ini hari penting dalam hidupku. Pertama kalinya dalam hidupku. Hampir lengkap
kisahku sebagai orangtua. Anak ku akan dilamar. Gadisku yang pertama sudah
sangat dewasa dan akan dipinang oleh pangerannya.
Rasanya
baru kemarin aku mendengar teriakannya lantaran kuliahnya yang sulit. Dan baru
kemarin aku menghadiri wisudanya. Juga kebahagiaan dia diterima menjadi PNS.
Sungguh seperti baru tadi malam saja. Sekarang dia sudah siap untuk melanjutkan
hidupnya ke dunia yang baru.
Anindita
Gayatri, nama putri sulungku. Meski sifatnya kadang pemarah dan sangat keras,
tetapi dia sangat menyayangi keluarganya. Dia seorang anak yang berbakti. Anak
sekaligus kakak yang hebat.
“Bu,
rombongan Mas Cahyo sebentar lagi sampai.” Suara Nindita membuyarkan lamunanku.
“Iya.
Semua sudah siap kan?” Nindita mengangguk dengan senyum menjawab pertanyaanku,
aku balas tersenyum.
Benar
saja, beberapa menit kemudian rombongan lamaran dari keluarga Cahyo tiba di
rumah kami. Kami yang telah siap sejak tadi, segera menyambut kedatangan
mereka.
Hanya
sebentar saja acara lamaran itu. Berbasa-basi kemudian ucapan kalimat lamaran
dari pihak keluarganya. Merundingkan tanggal
pernikahan. Diakhiri dengan makan bersama.
Dua
bulan lagi, itulah hasil perundingan waktu pernikahan. Semoga benar menjadi
waktu yang telah ditetapkan Allah. Dan aku mulai membayangkan betapa repotnya
kelak menjelang hari pernikahan. Terlalu memusingkan mengatur acara pernikahan.
Maka aku melimpahkan urusan ini pada salah satu adik perempuanku, Yana.
Ku percayakan
semuanya pada dia. Akan kuserahkan sejumlah uang padanya untuk mengatur segala
kebutuhan. Karena pada hari itu aku harus menyambut tamu-tamu. Lagipula aku
sudah semakin tua dan lemah untuk menjadi pengatur utama di acara pernikahan
anakku. Sudah tak sesehat dan selincah dulu.
***
Sebulan
menjelang pernikahan anakku. Aku tetap saja sibuk meski melimpahkan pada Yana. Belanja
untuk acara besok. Memilih kebaya untukku dan batik untuk seragam
saudara-saudaraku. Maklum, saudara kandungku banyak dan ditambah saudara
suamiku.
“Bu, buat acara
pernikahannya, Mbak Nindi bantu Ibu nggak untuk biayanya?” anak keduaku, Aneysa
Puspitasari, bertanya padaku saat kami hendak pergi belanja.
“Nggak tahu Ney,
terserah Mbakmu saja. Ibu sih sudah siapkan semuanya. Kalau Mbakmu bantu yang
syukur alhamdulillah. Tapi kalau tidak ya tak apa-apa. Ibu ikhlas dan tak
mengharap dari dia.”
“Emang Mbak
Nindi nggak nabung untuk biaya pernikahannya Bu? Bukannya Mbak Nindi udah kerja
jadi PNS hampir setahun?”
“Tidak tahu
Neysa. Ibu juga tak akan menanyakannya pada Mbakmu. Jika memang tak menabung
untuk biaya pernikahan, mungkin karena kebutuhannya banyak atau untuk persiapan
setelah menikah. Sudah, kita berangkat sekarang, semua sudah kumpul.” Jawabku
mengakhiri perbincangan yang bisa mengarah ke suudzon. Aku tak mau Neysa
berfikir negatif pada kakaknya.
Kami belanja
baju batik dan kebaya. Sesungguhnya uangku tak terlalu banyak. Sehingga baju
seragam untuk saudara-saudara dekat hanya batik saja, yang lebih miring harganya.
Karena kebutuhan lain juga besar. Harus berhemat.
“Bu, aku beli
kebaya ini ya? Agak mahal sih...” Neysa berkata sambil menunjukkan kain kebaya
warna pink.
“Iya Neysa...
beli saja.” Jawabku lemah, rasanya begitu lelah berjalan memilih baju batik dan
kebaya.
Aku juga harus
membelikan kebaya Ibuku. Semua harus bahagia dengan baju baru. Berpenampilan
baik di hari bahagia anakku. Akan kuberikan sebisaku untuk menyempurnakan hari
terpenting Nindi.
“Mbak, semuanya
udah dihitung, segini jumlah uangnya.” Yana menunjukkan struke harga batik yang
dibeli.
“Ya cepet bayar,
kan kamu yang bawa uangnya.” Balasku dan semua dibayar. Kebayaku, ibuku, Neysa,
baju batik suamiku dan semua batik saudara-saudaraku.
Persiapan
pertama selesai. Sebenarnya ini persiapan kami. Bukan persiapan yang
sebenarnya. Yah, semoga semua lancar.
***
Seminggu sebelum
pernikahan anakku. Persiapan rumah hampir selesai. Sudah sebulan lalu kami
sekeluarga berbenah rumah. Aku tinggal bersama ibuku. Beliau masih kuat untuk
membantu kami membabat rumput di halaman belakang. Bersyukur aku tinggal dekat
dengan saudara-saudaraku. Masih satu dusun, walau agak jauh rumahnya. Sedangkan
saudara lain berbeda desa, namun tak terlalu
jauh. Sehingga mereka dengan senang hati membantuku.
Halaman belakang
rencananya digunakan untuk memasak. Perlu diberi terpal untuk memayungi agar
tak panas. Halaman depan tentu saja untuk acara penikahan. Kursi-kursi tamu dan
singgasana pengantin. Tidak ada masalah dengan halaman depan. Sudah di semen
sejak lama. Sejak menjadi lapangan badminton yang sekarang tidak digunakan
lagi.
Rumah yang telah
berwarna hijau, kami cat lagi dengan warna hijau. Agar semakin terlihat bersih
dan cerah. Atap yang bocor kami
perbaiki. Kami juga meninggikan atap yang rendah agar tak mengganggu saat
dilewati banyak orang. Juga atap di kamar mandi yang awalnya berupa seng, kami
ganti dengan asbes.
Bahkan kamar
ibuku yang disamping ruang tamu, dibongkar. Agar lebih lapang ruangan yang
rencananya kami gunakan untuk tempat prasmanan. Besok kalau sudah selesai
acara, kamar ibu dipasang lagi. Mudah, karena berasal dari triplek satu
sisinya.
Perabotan yang
berada di ruang tamu tentu harus diungsikan seminggu ke depan. Sofa dititipkan
ke tetangga seberang jalan yang lebih luas rumahnya. Lemari bufet besar
dipindah ke dapur. TV ditaruh di kamar Neysa.
Apalagi? Banyak
lagi tentunya yang lain. Semua pekerjaan berat itu dikerjakan lelaki, saudara
dan tetangga. Beruntung sekali aku hidup di desa yang masih kental gotong
royongnya. Terlebih di tanah kelahiranku, Wonosari, Yogyakarta. Orang-orang
yang memegang jiwa kebersamaan dan kekeluargaan. Tanpa balasan. Diiringi jiwa
tolong menolong. Ketulusan dan keikhlasan.
Persiapan berikutnya
adalah masakan. Ibu-ibu mulai memasak di 5 hari menuju pernikahan anakku.
Selain untuk para pekerja yang membantu membereskan rumah, juga membuat makanan
untuk acara.
Hm... aku
benar-benar bersemangat dengan persiapan demi persiapan acara pernikahan anakku.
Ini adalah kali pertama aku menikahkan anakku. Memang bukan aku yang menjadi
pengaturnya. Aku hanya dimintai pendapat untuk beberapa hal yang adik-adikku
kurang yakin pada rencana mereka. Sesuai keinginanku dan yang kuanggap baik.
Sedangkan
Nindita tak ikut mengatur. Dia hanya konsen pada persiapan dirinya sendiri.
Menjadi pengantin yang cantik.
Sebenarnya, ada
hal kecil yang mengganjal hatiku. Beberapa tetanggaku berkata bahwa pernikahan
ini sedikit mewah di desa kami. Aku juga mendengar mereka menyangka aku punya
banyak uang. Aku diam saja. Tak perlu ku beberkan semuanya. Tak perlu mereka
atau Nindita sekalipun, tahu bahwa uang yang aku gunakan adalah pinjaman. Dari
saudara-saudaraku juga sekolah tempatku bekerja sebagai guru. Sedangkan suamiku
yang telah pensiun, menyewakan sepetak sawahnya. Sawah yang biasa ia urus
sendiri sebagai ganti pekerjaan PNSnya.
Biarlah ini
menjadi rahasia kami. Suatu saat pastilah terbayar hutang ini. Biarlah mereka
berkata apa. Bagiku sekarang adalah kebahagiaan anak ku. Tak perduli ia memberi
materi atau membalas pemberianku atau tidak. Kebahagiaan orangtua terletak pada
kebahagiaan anak.
***
Hari H telah
tiba. Setelah kemarin acara munjung atau mengirimkan kardus berisi makanan.
Tamu dari tetangga dekat banyak yang datang kemarin. Hari ini adalah puncak
acara pernikahan. Ijab kobul dan resepsi pernikahan.
Aku dan semua
saudaraku wanita, telah berdandan cantik. Kami siap menerima tamu-tamu yang
datang. Dari teman-temanku dan suamiku juga teman-teman Nindita. Neysa dan Odi, anak ketigaku, menjadi
pengiring pengantin. Mereka terlihat cantik dan tampan dengan dandanan yang
Jawa. Tentu yang tercantik adalah Nindita, dengan kebaya putihnya. Dia bagaikan
putri dalam dongeng yang selalu digambarkan sangat cantik dan ceria.
Dan, sekarang
lah saatnya. Ijab qobul. Kami duduk hening menyaksikan suasana sakral ini. Suamiku
diantara Nindi dan Cahyo. Di depannya ada penghulu. Karena suamiku gugup, maka
ia baca kalimat itu.
“Kulo nikahaken lan kulo jodohaken panjenengan
kalihan putri kulo Anindita Gayatri binti Argo Susilo kanti maskawin seperangat
alat sholat kaliyan arto kalih yuto sekawan atus ewu rupiah, ingkang sampun
kabayar kontan.1”
Lalu giliran
Cahyo. Ia pun mungkin gugup sehingga membaca juga,
“Kulo tampi nikahipun Anindita Gayatri binti
Argo Susilo putri bapak kangge kulo piyambak kanti mas kawin kasebat kontan.2”
“Sah?” penghulu
bertanya pada saksi yaitu saudara dari pihak kami dan pihak Cahyo.
“Sah...” ucap
mereka berbarengan dan kami pun ikutan ucap sah.
Alhamdulillah...
resmi sudah anakku menjadi seorang isteri, yang bakti utamanya kini pada
suaminya. Anak perempuanku yang pertama bukan lagi menjadi tanggunganku. Ia telah
menjadi milik suaminya. Bukan lagi milikku... Haru rasa hatiku. Seolah
melepasnya pergi sangat jauh dari rumah. Dari keluarga kami.
Kemudian acara
dilanjutkan ke acara adat. Pengantin berdua berganti pakaian. Dan acara adat jawa
pun berlangsung. Dari balangan suruh3,
wiji dadi4, kacar kucur5 dan dhahar klimah6.
Setelah dua
pengantin duduk di kursi pengantin dan kami sebagai orangtua pun duduk, acara
sungkeman dilakukan. Mengharukan kembali menghiasi nuansa bahagia. Putriku yang
sangat kusayang memohon restu untuk menjadi seorang isteri yang baik dan
berbakti pada suami. Meminta doa agar bisa membentuk keluarga yang sakinah.
“Iya putriku,
Ibu akan selalu mendoakanmu. Semoga bisa menjadi isteri shalih. Keluargamu bisa
sakinah, mawadah, rohmah dan konaah...”
“Amin...” kami
saling berpelukan dengan air mata menetes.
Ah...
benar-benar lengkap menjadi seorang Ibu. Mengantarkan anaknya hingga
pernikahan. Tugasku sebagai orangtua seakan telah tunai sudah dengan pernikahan
putriku. Aku dan suamiku adalah orangtua paling bahagia saat ini. Betapa tidak,
putri kami begitu bahagia dengan acara pernikahan ini.
***
Epilog
Acara pernikahan
putriku sungguh-sungguh lancar dan membahagiakan. Alhamdulillah... semua
bahagia dan tak ada cela. Sekarang, tiga hari setelah pernikahan, Nindi tinggal
di rumah suaminya. Kami pun telah berbenah rumah. Semua kembali semula.
“Bu, bentar lagi
ujian, mesti lunasin pembayaran kuliah. Kan kemarin baru bayar setengahnya.
Jadi jangan lupa kasih aku uang ya Bu.” Neysa berkata padaku yang sedang santai
di teras.
Ah... memang
belum tunai tugasku sebagai orangtua. Masih ada Neysa dan Odi. Mereka masih
kuliah. Masih panjang perjalanan mereka. Perjalananku sebagai orangtua. Itupun
kalau kami masih ada umur. Hingga mereka pun menikah seperti Nindi.
Keterangan
11.
Saya nikahkan dan
jodohkan anda dengan putri saya Anindita Gayatri binti Argo Susilo dengan mas
kawin seperangkat alat sholat dan uang
dua juta empat ratus ribu rupiah yang sudah dibayar kontan.
22. Saya
terima nikahnya Anindita Gayatri binti Argo Susilo, putri Bapak untuk saya
sendiri dengan mas kawin tersebut kontan.
33. Saling
melempar daun suruh oleh kedua pengantin sebagai wujud membuang roh jahat atau
keburukan.
44. Pengantin
pria menginjak telur mentah dan pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria
dengan air kembang, sebagai wujud suami bertanggungjawab kepada isteri dengan
baik akan menghasilkan keturunan yang baik pula.
55. Memberikan kacang,
kedelai, padi dan lainnya sebagai perlambang suami memberikan penghasilannya kepada
isteri dan isteri menerima denga baik.
66. Kedua pengantin saling
menyuapi, melambangkan keduanya menimati setiap apa pun dan saat apa pun dengan
bersama berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentari Tulisanku Sobat...