Satu persatu saudara-saudara,
teman-teman dan tetangga-tetanggamu menunaikan satu terakhir dari yang lima.
Apakah tak tergelitik dalam hatimu, Ibuku?
“Ya tentu aja Ibu
pengen naik haji.” Jawabanmu setahun lalu ketika iseng kutanyakan padamu.
Entahlah apa ada maksud
lebih mendalam dari jawabanmu. Ketika Budhe yang usai pulang haji mengajak agar
engkau dan bapak pergi haji selagi masih kuat, engkau hanya jawab,
“Ah, anak-anak masih
kuliah. Belum memikirkan.” Itukah kelanjutan jawabanmu yang pertama, Ibu?
Tak tahukah itu
petunjuk pertama untukmu ibu. Aku saja merasakannya… Perasaan yang berulang
ketika ada budhe yang lain menyuruhku mendukung Ibu untuk pergi haji. Hati ini
sungguh bergetar Ibu. Betapa petunjuk kecil ini membuatku selalu mendoakan ibu
dan bapak agar bisa yakin untuk memutuskan naik haji.
Waktu berikutnya adalah
melihat orang-orang yang sibuk mengurusi keperluan haji. Mendengar
teman-temanku membicarakan orangtuanya yang akan berangkat haji. Sungguh aku
iri Bu… Iri kenapa Ibu belum juga berangkat haji sementara ibu-ibu temanku
sudah. Tidakkah engkau juga iri?
Setahun berlalu tanpa
ada pembicaraan menyangkut kewajiban umat muslim bagi yang mampu. Syarat ini
bukankah rancu? Mampu. Menurut pandangan siapa? Pandangan orang-orang yang
melihat. Pandangan kita yang menjalani? Bagaimana jika ternyata kata mampu ini
adalah berdasarkan pandangan Allah. Bukankah sudah banyak bukti orang-orang
yang dalam pandangan orang lain tak mampu ternyata bisa berangkat haji. Bahkan
dia mengukur kemampuannya sendiri secara logis tak mampu pun ternyata ia bisa.
Pengetahuan dan
pemikiran kita terlalu sempit untuk menerjemahkan kata mampu dalam konteks
haji. Tetapi kita kebanyakan menjadi sok tahu dengan yang ada pada diri kita.
Mengira tak mampu, mengukur tak cukup, merasa tak perlu. Manusia. Apakah Ibu
juga termasuk yang seperti itu? Janganlah ibuku sayang…
Maka tahun ini, kita
sama tahu dengan keadaan keuangan keluarga kita. Oh tentu engkau yang paling
tahu Ibu. Kakak sudah bekerja dan menikah. Aku tinggal satu tahun lagi lulus
kuliah. Adikku juga sekitar dua tahun lagi. Bagaimana Ibu, alasan anak-anak
masih kuliah bukankah bisa dikesampingkan?
Satu rahasia yang ingin
kukatakan padamu, bahwa tiap aku mendengar kalimat talbiyah, aku selalu
teringat pada Ibu dan Bapak. Seolah panggilan itu memang benar adanya. Tak
hanya sekedar keinginan yang tertahan. Ibu dan Bapak harus segera bergerak.
Aku, bolehkan menarik tangan Ibu dan Bapak agar melangkahkan kaki di jalan
menaik itu. Berharap aku tak salah memahami petunjuk dari Allah…